imaging is me

imaging is me
life is cicle

Kamis, 10 November 2011

Thalasemia dan Leukimia




BAB II
PEMBAHASAN


2.1. THALASEMIA
A.      Definisi
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan yang ditandai oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin.
Macam – macam Thalasemia :
1.        Thalasemia beta
Merupakan anemia yang sering dijumpai yang diakibatkan oleh defek yang diturunkan dalam sintesis rantai beta hemoglobin.
Thalasemia beta meliputi:
a.Thalasemia beta mayor
Bentuk homozigot merupakan anemia hipokrom mikrositik yang berat dengan hemolisis di dalam sumsum tulang dimulai pada tahun pertama kehidupan.Kedua orang tua merupakan pembawa “ciri”. Gejala – gejala bersifat sekunder akibat anemia dan meliputi pucat, wajah yang karakteristik akibat pelebaran tulang tabular pada tabular pada kranium, ikterus dengan derajat yang bervariasi, dan hepatosplenomegali.
b.Thalasemia Intermedia dan minor
Pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda – tanda anemia ringan dan splenomegali. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan kadar Hb bervariasi, normal agak rendah atau meningkat (polisitemia). Bilirubin dalam serum meningkat, kadar bilirubin sedikit meningkat.
2.                  Thalasemia alpa
Merupakan thalasemia dengan defisiensi pada rantai a


B.       ETIOLOGI

Faktor genetik


C.      PATOFISIOLOGI
Hemoglobin paska kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alpa dan beta polipeptide. Dalam beta thalasemia ada penurunan sebagian atau keseluruhan dalam proses sintesis molekul hemoglobin rantai beta. Konsekuensinya adanya peningkatan compensatori dalam proses pensintesisan rantai alpa dan produksi rantai gamma tetap aktif, dan menyebabkan ketidaksempurnaan formasi hemoglobin. Polipeptid yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil, mudah terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia yang parah. Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah merah dibentuk dalam jumlah yang banyak, atau setidaknya bone marrow ditekan dengan terapi transfusi. Kelebihan fe dari penambahan RBCs dalam transfusi serta kerusakan yang cepat dari sel defectif, disimpan dalam berbagai organ (hemosiderosis).

D.      MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia akibat hipersplenisme.
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan pericardium (perikerditis).

Secara umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:
1.Letargi
2.Pucat
3.Kelemahan
4.Anoreksia
5.Sesak nafas
6.Tebalnya tulang cranial
7.Pembesaran limpa
8.Menipisnya tulang kartilago

E.  PEMERIKSAAN PENUNJANG
Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel darah merah, yaitu mikrositosis, hipokromia, anosositosis, poikilositosis, sel target, eritrosit yang immature, penurunan hemoglobin dan hematrokrit. Elektroforesis hemoglobin : peningkatan hemoglobin
Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang hiperaktif terutama seri eritrosit. Hasil foto rontgen meliputi perubahan pada tulang akibat hiperplasia sumsum yang berlebihan. Perubahan meliputi pelebaran medulla, penipisan korteks, dan trabekulasi yang lebih kasar.
Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju.

F.   PENATALAKSAAN

1.Transfusi sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Pemberian sel darah merah sebaiknya 10 – 20 ml/kg berat badan.
2.Pemberian chelating agents (Desferal) secara intravena atau subkutan. Desferiprone merupakan sediaan dalam bentuk peroral. Namun manfaatnya lebih rendah dari desferal dan memberikan bahaya fibrosis hati.
3.Tindakan splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda – tanda hipersplenisme atau kebutuhan transfusi meningkat atau karena sangat besarnya limpa.
4.Transplantasi sumsum tulang biasa dilakukan pada thalasemia beta mayor.
           
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1.    PENGKAJIAN
1.Pengkajian Fisik
Melakukan pemeriksaan fisik.
Kaji riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan anemia dan riwayat penyakit tersebut dalam keluarga. Observasi gejala penyakit anemia.
2.Pengkajian Umum
Pertumbuhan yang terhambat, Anemia kronik, Kematangan seksual yang tertunda.
3.Krisis Vaso-Occlusive
Sakit yang dirasakan
Gejala yang berkaitan dengan ischemia dan daerah yang berhubungan.
·      Ekstremitas: kulit tangan dan kaki yang mengelupas disertai rasa sakit yang menjalar.
·      Abdomen : sakit yang sangat sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan
·      Cerebrum : stroke, gangguan penglihatan.
·      Pinggang : gejalanya seperti pada penyakit paru-paru basah.
·      Liver : obstruksi jaundise, koma hepatikum.
·      Ginjal : hematuria.
Efek dari krisis vaso-occclusive kronis adalah:
·      Hati: cardiomegali, murmur sistolik
·      Paru-paru: gangguan fungsi paru-paru, mudah terinfeksi.
·      Ginjal: ketidakmampuan memecah senyawa urin, gagal ginjal.
·      Genital: terasa sakit, tegang.
·      Liver: hepatomegali, sirosis.
·      Mata: ketidaknormalan lensa yang mengakibatkan gangguan penglihatan, kadang menyebabkan terganggunya lapisan retina dan dapat menyebabkan kebutaan.
·      Ekstremitas: perubahan tulang-tulang terutama bisa membuat bungkuk, mudah terjangkit virus salmonela osteomyelitis.


2.        DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Resiko tinggi injuri berhubungan dengan hemoglobin abnormal, penurunan kadar oksigen , dehidrasi.
2.    Nyeri berhubungan dengan anoxia membran (vaso occlusive krisis)
3.    Perubahan proses dalam keluarga berhubungan dengan dampak penyakit anak pada fungsi keluarga; resiko penyembuhan yang lama pada anak.

3.        INTERVENSI KEPERAWATAN
1)        Resiko tinggi injuri berhubungan dengan ketidaknormalan hemoglobin, penurunan oksigen, dehidrasi.
Tujuan: 

a.Jaga agar pasien mendapat oksigen yang cukup

Intervensi keperawatan:
Ukur tekanan untuk meminimalkan komplikasi berkaitan dengan eksersi fisik dan stres emosional
Rasional: menghindari penambahan oksigen yang dibutuhkan jangan sampai terjadi infeksi
Jauhkan dari lingkungan yang beroksigen rendah.
Hasil yang diharapkan:
Hindarkan anak dari situasi yang dapat menyebabkan kekurangan oksigen dalam otak.
b.Jaga agar anak tidak mengalami dehidasi
Intervensi keperawatan.
1)Observasi cairan infus sesuai anjuran (150ml/kg) dan kebutuhan minimum cairan anak; infus.
Rasional: agar kebutuhan cairan ank dapat terpenuhi.
2)Meningkatkan jumlah cairan infus diatas kebutuhan minimum ketika ada latihan fisik atau stress dan selam krisis.        
Rasional: agar tercukupi kebutuhan cairan melalui infus.
3)Beri inforamasi tertulis pada orang tua berkaitan dengan kebutuhan cairan yang spesifik.
Rasional: untuk mendorong complience.
4)Dorong anak untuk banyak minum
Rasional: untuk mendorong complience.
5) Beri informasi pada keluarga tentang tanda – tanda dehidrasi
Rasional: untuk menghindari penundaan terapi pemberian cairan.
6)Pentingnya penekanan akan pentingnnya menghindari panas
Rasional: menghindari penyebab kehilangan cairan.
Hasil yang diharapkan:
Anak banyak minum dan jumlah cairan terpenuhi sehingga tidak terjadi dehidarsi.
c.Bebas dari infeksi
      Intervensi keperawatan
1)Tekankan pentingnya pemberian nutrisi; imunisasi yang rutin, termasuk vaksin pneumococal dan meningococal; perlindungan dari sumber – sumber infeksi yang diketahui; pengawasan kesehatan secara berkala.
     2)Laporkan setiap tanda infeksi pada yang bertanggung jawab dengan segera.
     Rasional: agar tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan.
3)Beri terapi antibiotika
Rasional: untuk mencegah dan merawat infeksi.
Hasil yang diharapkan:
Anak terbebas dari infeksi.
d.Menurunnya resiko yang berhubungan dengan efek pembedahan.
Intervensi keperawatan
1)Jelaskan pentingnya transfusi darah
Rasional: untuk meningkatkan konsentrasi Hb A
2)Jaga anak agar tidak dehidrasi
3)Bujuk anak agar tidak tegang.
Rasional: Kecemasan dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.
4)Beri anlgesik
Rasional: agar anak merasa nyaman dan menurunkan respon cemas.
5)Mencegah kegiatan yang tidak perlu
Rasional: untuk mencegah penambahan kebutuhan oksigen.
6)Jaga bersihan jalan nafas postoperasi
Rasional: untuk mencegah infeksi
7)Lakukan latihan ROM pasif
Rasional: untuk memacu sirkulasi.
8)Kolaborasi untuk pemberian oksigen
Rasional: untuk menambah kadar hemoglobin.
9)Obsevasi tanda – tanda infeksi.
Rasional: agar dapat cepat ditangani.
Hasil yang diharapkan:
Ketika anak dioperasi tidak mengalami krisis.

2)        Nyeri berhubungan dengan anoksia membran (krisis vaso-occlusive)
Tujuan:
Agar terhindar dari rasa sakit atau setidaknya rasa sakit tidak terlalu menyakitkan bagi si anak
Intervensi keperawatan:
1)Jadwalkan medikasi untuk pencegahan secara terus – menerus meskipun tidak dibutuhkan.
Rasional: untuk mencegah sakit.
2)Kenali macam – macam analgetik termasuk opioid dan jadwal medikasi mungkin diperlukan.
Rasional: untuk mengetahui sejauh mana rasa sakit dapat diterima.
3)Yakinkan si anak dan keluarga bahwa analgetik termasuk opioid, secara medis diperlukan dan mungkin dibutuhkan dalam dosis yang tinggi.
Rasional: karena rasa sakit yang berlebihan bisa saja terjadi karena sugesti mereka.
4)Beri stimulus panas pada area yang dimaksud karena area yang sakit
5)Hindari pengompresan dengan air dingin
Rasional: karena dapat meningkatkan vasokonstriksi
Hasil yang diharapkan:
Agar terhindar dari rasa sakit atau setidaknya rasa sakit tidak terlalu menyakitkan bagi si anak.

3)      Perubahan proses dalam keluarga berhubungan dengan dampak penyakit anak terhadap fungsi keluarga; resiko penyembuhan yang lama pada anak.
Tujuan:
a.Agar mendapatkan pemahaman tentang penyakit tersebut
Intervensi keperawatan:
1)Ajari keluarga dan anak yang lebih tua tentang karakteristik dari pengukuran – pengukuran.
Rasional: untuk meminimalkan komplikasi.
2)Tekankan akan pentingnya menginformasikan perkembangan kesehatan, penyakit si anak.
Rasional: untuk mendapatkan hasil kemajuan dari perawatan yang tepat.
3)Jelaskan tanda – tanda adanya peningkatan krisis terutama demam, pucat dan gangguan pernafasan.
Rasional: untuk menghindari keterlambatan perawatan.
4)Berikan gambaran tentang penyakit keturunan dan berikan pendidikan kesehatan pada keluargatentang genetik keluarga mereka.
Rasional: agar keluarga tahu apa yang harus dilakukan.
5)Tempatkan orang tua sebagai pengawas untuk anak mereka.
Rasional: agar mendapatkan perawatan yang terbaik.
Hasil yang diharapkan:
Anak dan keluarga dapat benar – benar mengetahui tentang penyakit si anak secara etiologi dan terapi – terapinya.
b.Agar menerima dorongan yang cukup.
Intervensi keperawatan:
1)Mengacu pada organisasi yang terpercaya.
Rasional: Untuk mendukung proses perawatan.
2)Daftarkan anak pada klinik anemia
Rasional: untuk mendapatkan perawatan yang tepat.
3)Selalu waspada terhadap suatu keluarga bila 2 atau lebih anggota keluarganya terjangkit penyakit ini.
Hasil yang diharapkan:
Keluarga dapat mengambil manfaat dari layanan tersebut dan abnak dapat menerima perawatan dari fasilitas yang tepat.

2.2.       LEUKEMIA
Definisi
Insidensi Leukemia di Amerika adalah 13 per 100.000 penduduk /tahun (Wilson, 1991). Leukemia pada anak berkisar pada 3 – 4 kasus per 100.000 anak / tahun. Untuk insidensi ANLL di Amerika Serikat sekitar 3 per 200.000 penduduk pertahun. Sedang di Inggris, Jerman, dan Jepang berkisar 2 – 3 per 100.000 penduduk pertahun (Rahayu, 1993, cit Nugroho, 1998). Pada sebuah penelitian tentang leukemia di RSUD Dr. Soetomo/FK Unair selama bulan Agustus-Desember 1996 tercatat adalah 25 kasus leukemia akut dari 33 penderita leukemia. Dengan 10 orang menderita ALL ( 40% ) dan 15 orang menderita AML (60 %) (Boediwarsono, 1998).


Etiologi

Penyebab leukemia sampai sekarang belum jelas, tapi beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain :
1.Genetik
a.keturunan
·      Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis (Wiernik, 1985; Wilson, 1991). Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.

·      Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi (Wiernik,1985).

b.Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL (Wiernik,1985; Wilson, 1991).

2.Virus

Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata. Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. (Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia. Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk (Kumala, 1999).


3.Bahan Kimia dan Obat-obatan


a.Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. (Wiernik,1985; Wilson, 1991)
Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik (Fauci, et. al, 1998).


b.Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML (Fauci, et. al, 1998).


4.Radiasi


Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis.

5.Leukemia Sekunder

Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .


Definisi Leukemia Akut

Leukemia Akut adalah suatu keganasan primer sumsum tulang yang berakibat terdesaknya komponen darah abnormal (blastosit), disertai penyebaran ke organ-organ lain. (Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya,1994).



Patogenesa Leukemia Akut

Blastosit abnormal gagal berdiferensiasi menjadi bentuk dewasa dan proses pembelahan berlangsung terus. Sel-sel ini mendesak komponen hemopoitik normal sehingga terjadi kegagalam fungsi sumsum tulang. Disamping itu, sel-sel abnormal melalui peredaran darah melakukan infiltrasi ke organ-organ tubuh. (Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya,1994).
Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum tulang oleh sel leukemik, menyebabkan gangguan produksi sel darah merah. Depresi produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan. Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel leukemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi. Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut. (Cawson, 1982).


Klasifikasi Leukemia Akut


Berdasarkan klasifikasi French American British (FAB), leukemia akut terbagi menjadi 2 (dua), Acute Limphocytic Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).
ALL sendiri terbagi menjadi 3, yakni :
L1 : Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak-anak.
L2 : Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.
L3 : Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk.


AML terbagi menjadi 8 tipe :

1.    Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal.
2.    M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1.
3.    M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 %. Jumlah sel leukemik antara 30–90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit.
4.    M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu. Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini .
5.    M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 (dua) type sel, yakni granulositik dan monositik, serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.

6.    M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
7.    M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar.
8.    M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit. ( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 ).


Manifestasi Klinis leukemia Akut


Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah :
Anemia : pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.
Leukopenia (karena penurunan fungsi) : infeksi lokal atau umum (sepsis) dengan gejala panas badan (Demam) dan penurunan keadaan umum.
Trombositopeni : Perdarahan kulit, mukosa dan tempat- tempat lain.
Akibat infiltrasi ke organ lain :
Nyeri tulang.
Pembesaran kelenjar getah bening.
Hepatomegali dan splenomegali
(Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya,1994). Gejala lain seperti Purpura, epistaksis ( sering ), hematoma, infeksi oropharingeal, pembesaran nodus limfatikus, lemah ( weakness ), faringitis, gejala mirip flu ( flu like syndrome ) yang merupakan manifestasi klinis awal, limfadenopati, ikterus kejang sampai koma (Cawson 1982; De Vita Jr,1985, Archida, 1987, Lister, 1990, Rubin,1992).
Pemeriksaan dan Diagnosis Leukemia Akut
Penegakan diagnosa leukemia akut dilakukan dengan berdasarkan pada anamnesa, pemeriksaan klinis, pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang pada beberapa kasus.
Pada pemeriksaan darah, sel darah putih menunjukkan adanya kenaikan jumlah, penurunan jumlah, maupun normal.
Pemeriksaan trombosit menunjukkan penurunan jumlah.
Pemeriksaan hemoglobin menunjukkan penurunan nilai (De Vita Jr, 1993). Pemeriksaan sel darah merah menunjukkan penurunan jumlah dan kelainan morfologi (Cawson, 1982 ; De Vita Jr, 1993 ).
Adanya sel leukemik sejumlah 5 % cukup untuk mendiagnosa kelainan darah sebagai leukemia, tapi sering dipakai nilai yang mencapai 25 % atau lebih (Altman J.A.,1988 cit De Vita Jr, 1993).
Pemeriksaan dengan pewarnaan Sudan Black, PAS, dan mieloperoksidase untuk pembedaan AML dan ALL, (De Vita Jr, 1993 ; Boediwarsono, 1996 ; Yoshida, 1996).
Hapusan darah : normokrom, normositer, hampir selalu dijumpai blastosit abnormal.

Sumsum tulang hiperseluler, hampir selalu penuh dengan blastosit abnormal, sistem hemopoitik normal terdesak. (Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya,1994).


Diagnosis
Bila ditemukan kumpulan gejala : anemia, perdarahan, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali, pemeriksaan darah tepi.
Bila dari pemeriksaan darah tepi ada kecurigaan akan leukemia, periksalah sumsum tulang.

Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut

Kelainan rongga mulut disini adalah kelainan – kelainan yang timbul pada rongga mulut penderita leukemia akut, diantaranya adalah :

·           Pembengkakan gusi
Pembengkakan gusi berupa pembengkakan papila dan margin gusi. Pembengkakan ini terjadi akibat infiltrasi sel leukemik di dalam lapisan retikular mukosa mulut , di buktikan dari hasil biopsi dan FNAB mukosa rongga mulut (Nugroho, 1991; Berkovitz 1995). Mukosa mulut yang mengalami infiltrasi sel leukemik adalah mukosa yang sering mengalami trauma minor, misal mukosa sepanjang garis oklusi, palatum, lidah dan sudut mulut (Rusliyanto, 1986; Glickman, 1958 cit Berkovitz 1995). Gejala ini ditemukan pada 14,28 % penderita leukemia (Archida, 1987) dan khas pada leukemia monositik dan mielomonositik akut (Rusliyanto, 1980; Wiernik, 1985 ; Berkovitz, 1995).
Pembesaran gusi ini juga diduga diakibatkan oleh inflamasi kronis yang disebabkan oleh plak, berupa inflamasi karena gingivitis kronis derajat ringan yang juga ditemui pada gusi yang sehat secara klinis (Widjaja, 1992; Moughal et al, 1991 cit Berkovitz 1995).

·           Perdarahan
Perdarahan pada kasus leukemia bisa berupa petekie, ekimosis maupun perdarahan spontan (Lister, 1990). Sering terjadi pada kasus-kasus leukemia akut yang disertai penurunan jumlah trombosit (trombositopeni) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit (Widmann, 1995). Trombosit merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk sumbat trombosit. Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup robekan pembuluh darah. Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah. Penurunan jumlah trombosit (trombositopeni) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan (Guyton, 1994; Ganiswara, 1995).
Perdarahan diakibatkan juga karena kerusakan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah diakibatkan oleh rupturnya kapiler. Darah meningkatnya viskositasnya akibat adanya sel leukemik dengan konsentrasi tinggi. Kondisi ini menyebabkan tekanan intra kapiler darah meningkat. aliran darah yang seharusnya ke sisi bertekanan rendah terhalang karena infiltrasi sel leukemik yang membentuk emboli. Penghentian aliran darah dengan viskositas dan tekanan tinggi ini menyebabkan pembuluh darah kapiler ruptur (Wiernik, 1985). Kebersihan rongga mulut yang buruk, jaringan periodontal yang tidak sehat dan iritasi lokal diduga menjadi penyebab lain dari perdarahan rongga mulut (Wezler, 1991; Nugroho 1998). Kondisi lokal rongga mulut yang buruk, dapat menyebabkan keradangan dan berakibat mudah terjadi perdarahan.
·      Ulserasi
Ulserasi pada rongga mulut penderita leukemia akut diduga disebabkan karena adanya kegagalan mekanisme pertahanan tubuh. Neutrofil mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi . Pada kondisi ini trauma yang kecil pun dapat menyebabkan terjadinya ulser ( Rusliyanto, 1986 ).
Jumlah sel leukemik yang banyak pada darah tepi dapat menyebabkan statis pembuluh darah kecil sehingga terjadi anemia (Burket, 1940 cit Berkovitz , 1995, Sinrod, 1957 cit Berkovitz , 1995 ; Bodey, 1971 cit Berkovitz , 1995 ; Segelman dan Doku, 1977, cit Berkovitz , 1995) selanjutnya terjadi nekrosis dan ulkus (Rusliyanto, 1986).
·      Limfadenopati
Limfadenopati berupa pembesaran kelenjar limfe, terjadi akibat adanya infiltrasi sel leukemik ke dalam kelenjar limfe (Lister, 1990; Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995) dan juga diduga adalah limfadenitis reaktif sebagai proses pertahanan tubuh terhadap tubuh terhadap radang yang merupakan proses fisiologis tubuh (Rubbins dan Khumar, 1992). Menurut Guyton et. al. (1994) limfadenopati ini juga terjadi akibat adanya proses hematopoeisis ekstra medular pada nodus limfatikus. Hematopoesis yang pada usia dewasa seharusnya terjadi pada sumsum tulang, terganggu karena sel leukemik dari proses multiplikasi sel prekursor leukemik mempunyai masa hidup yang lebih lama, menginfiltasi sumsum tulang serta mendesak sel-sel normal. Pernyataan Guyton ini didukung oleh W.F. Ganong (1995) yang menyatakan bahwa hematopoesis ekstra medular dapat terjadi pada usia dewasa akibat adanya penyakit yang menyebabkan fibrosis atau kerusakan sumsum tulang . Pembesaran ini mampu mencapai ukuran sebesar telur ayam (Pitojo S, 1992).
·      Infeksi
Infeksi sangat sering terjadi pada penderita leukemia akut, baik infeksi jamur, bakteri maupun infeksi virus . Kondisi ini diakibatkan oleh kegagalan mekanisme pertahanan tubuh untuk menanggulangi infeksi . Pada penderita leukemia akut terjadi neutropenia (Barret, 1986) dan neutrofil itu sendiri mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi (Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995). Infeksi jamur yang paling banyak dijumpai adalah infeksi jamur Candida Albicans yang mencapai 60 % pada penderita ALL (Reskiasih, 2000 ) . Infeksi jamur kandida secara klinis dapat dijumpai berupa lesi putih maupun lesi merah . Lesi putih berupa warna yang lebih putih dari jaringan disekelilingnya, lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal yang ada di sekelilingnya. Lesi putih -ini bisa merupakan lesi yang keratotik atau non keratotik berdasarkan kemudahan diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut.
Lesi yang sulit / tidak bisa diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari mengangkatnya ketebalan lapisan yang berkeratosis (hiperkeratosis) dan disebut lesi keratotik. Lesi yang mudah diangkat dan seringkali menimbulkan suatu daerah yang kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa berupa debris atau peradangan pada pseudomembranous mukosa mulut yang disebut lesi non keratotik. Lesi akibat infeksi jamur Kandida seringkali dikaitkan dengan keradangan pada pseudomembranous mukosa atau ikut berperan dalam etiologi lesi hiperkeratotik walaupun dapat berupa lesi putih yang disertai lesi hipokeratotik. Infeksi jamur yang lain dapat berupa angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis (Brightment,1993). Infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia sangat sering terjadi.
Dan satu-satunya tanda klinis yang biasa dijumpai adalah demam (Wiernik; 1985). Infeksi virus yang sering ditemui adalah infeksi Herpes Zoster yang mempunyai prosentase cukup tinggi yaitu 40 % pada penderita leukemia akut jenis AML dan 30 % leukemia akut jenis ALL (Barret,1986). Salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita leukemia akut yang mencapai 52,63 % (Archida, 1987
·      Penatalaksanan
Perbaiki keadaan umum :
Anemia : transfusi sel darah merak padat (PRC) 10 ml/kg BB/dosis, hingga Hb 12 g/dl. Perdarahan hebat : transfusi darah sesuai jumlah yang hilang, bila perlu dapat diberi transfuse trombosit (biasanya diperlukan bila jumlah trombosit < 10.000/mm3).
Infeksi sekunder : bila dapat lakukan biakan kuman (dari bisul, air kemih, darah, cairan serebro spinal) dan segera mulai dengan antibiotika spektrum luas/dosis tinggi, sesuai dengan dugaan kuman penyebab.
Status gizi perlu diperhatikan/diperbaiki.
Pengobatan sfesifik :
Protokol untuk LLA :
Fase Induksi remisi.
Berikan kombinasi 1 + 2 + 3a atau 1 + 2 + 3b.
1.Vinkristin 1,5 mg/M2 (luas permukaan tubuh), 1 kali seminggu I. V. selama 6 minggu.
2.Prednison 50 mg/M2/24 jam peroral dibagi tiga dosis, setiap hari selama 6 minggu.
3.a. Daunomisin 45 mg/M2/dosis I. V. diberikan hanya pada hari ke I, II, III atau Adriablastin 40 mg/M2/dosis I. V. diberikan hanya pada hari ke I, II, III atau
3.b. Asparaginase (protokol khusus).

Fase pencegahan penyebaran ke sistem syaraf pusat.
Metotreksat intratekal 10 mg/M2/dosis, 1 kali seminggu, selama 5 minggu.
Fase pemeliharaan
Berikan kombinasi
1.6 merkaptopurin 75 mg/M2/dosis per oral 1 kali sehari.
2.Metotreksat 20 mg/M2/minggu per oral, dibagi 2 dosis (Senin + Kamis). Pengobatan diteruskan hingga 2 – 3 tahin.


Protokol untuk LMA :

Untuk jenis LMA, protokol yang dipakai bervariasi, terdiri dari bermacam-macam kombinasi obat, seperti :
Sitosin arabinosid + daunomisin + 6 tioguanin.
Prednison + vinkristin + metotreksat + merkaptopurin.
komplikasi
Penyulit yang paling sering didapatkan adalah : Perdarahan, Sepsis.
prognosis
Prognosis tidak baik. Angka kematian tinggi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL DAN RENCANA TINDAKAN


1.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan :


Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
Gangguan kematangan sel darah putih
Peningkatan jumlah limfosit imatur
Imunosupresi
Penekanan sumsum tulang ( efek kemoterapi 0
Hasil yang Diharapkan :
Infeksi tidak terjadi,
Rencana tindakan :
1.Tempatkan anak pada ruang khusus. Batasi pengunjung sesuai indikasi
Rasional ; Melindungi anak dari sumber potensial patogen / infeksi
2.Berikan protocol untuk mencuci tangan yang baik untuk semua staf petugas
Rasional : mencegah kontaminasi silang / menurunkan risiko infeksi
3.Awasi suhu. Perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan chemoterapi.
Observasi demam sehubungan dengan tachicardi, hiertensi
Rasional : Hipertermi lanjut terjadi pada beberapa tipe infeksi dan demam terjadi pada kebanyakan pasien leukaemia.
4.Dorong sering mengubah posisi, napas dalam, batuk.
Rasional ; Mencegah statis secret pernapasan, menurunkan resiko atelektasisi/ pneumonia.
5.Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut secara periodic. Gnakan sikat gigi halus untuk perawatan mulut.
Rasional : Rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme pathogen
6.Awasi pemeriksaan laboratorium : WBC, darah lengkap
Rasional : Penurunan jumlah WBC normal / matur dapat diakibatkan oleh proses penyakit atau kemoterapo.
7.Berikan obat sesuai indikasi, misalnya Antibiotik
Rasional ; Dapat diberikan secara profilaksis atau mengobati infeksi secara khusus.
8.Hindari antipiretik yang mengandung aspirin
Rasional ; aspirin dapat menyebabkan perdarahan lambung atau penurunan jumlah trombosit lanjut

2.Resiko tinggi kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan :

Kehilangan berlebihan, mis ; muntah, perdarahan


Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia.
Hasil Yang Diharapkan :Volume cairan tubuh adekuat, ditandai dengan TTV dbn, stabil, nadi teraba, haluaran urine, BJ dan PH urine, dbn.
Rencana Tindakan :
1.Awasi masukan dan pengeluaran. Hitung pengeluaran tak kasat mata dan keseimbangan cairan. Perhatikan penurunan urine pada pemasukan adekuat. Ukur berat jenis urine dan pH Urine.
Rasional ; Penurunan sirkulasi sekunder terhadap sel darah merah dan pencetusnya pada tubulus ginjal dan / atau terjadinya batu ginjal (sehubungan dengan peningkatan kadar asam urat) dapat menimbulkan retensi urine atau gagal ginjal.
2.Timbang BB tiap hari.
Rasional : Mengukur keadekuatan penggantian cairan sesuai fungsi ginjal. Pemasukan lebih dari keluaran dapat mengindikasikan memperburuk / obstruksi ginjal.
3.Awasi TD dan frekuensi jantung
Rasional : Perubahan dapat menunjukkan efek hipovolemik (perdarahan/dehidrasi)
4.Inspeksi kulit / membran mukosa untuk petike, area ekimotik, perhatikan perdarahan gusi, darah warn karat atau samar pada feces atau urine; perdarahan lanjut dari sisi tusukan invesif.
Rasional ; Supresi sumsum dan produksi trombosit menempatkan pasien pada resiko perdarahan spntan tak terkontrol.
5.Evaluasi turgor kulit, pengiisian kapiler dan kondisi umum membran mukosa.
Rasional ; Indikator langsung status cairan / dehidrasi.
6.Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera jaringan / perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi dengan sikat yang halus.
Rasional ; Jaringan rapuh dan gangguan mekanis pembekuan meningkatkan resiko perdarahan meskipun trauma minor.
7.Berikan diet halus.
Rasional : Dapat membantu menurunkan iritasi gusi.
8.Berikan cairan IV sesuai indikasi
Rasional : Mempertahankan keseimbangan cairan / elektrolit pada tak adanya pemasukan melalui oral; menurunkan risiko komplikasi ginjal.
9.Berikan sel darah Merah, trombosit atau factor pembekuan
Raional : Memperbaiki jumlah sel darah merah dan kapasitas O2 untuk memperbaiki anemia.
Berguna mencegah / mengobati perdarahan.


3.Nyeri ( akut ) berhubungan dengan :


Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang dikmas dengan sel leukaemia.
Agen kimia ; pengobatan antileukemia.
Rencana Tindakan ;
1.Awasi tanda-tanda vital, perhatikan petunjuk nonverbal,rewel, cengeng, gelisah
Rasional ; Dapat membantu mengevaluasi pernyatan verbal dan ketidakefektifan intervensi.
2.Berikan lingkungan yang tenang dan kurangi rangsangan stress
Rasional ; Meingkatkan istirahat.
3.Tempatkan pada posisi nyaman dan sokong sendi, ekstremitas denganan bantal
Rasional ; Menurunkan ketidak nyamanan tulang/ sensi
4.Ubah posisi secara periodic dan berikan latihan rentang gerak lembut.
Rasional : Memperbaiki sirkulasi jaringan dan mobilisasi sendi.
5.Berikan tindakan ketidaknyamanan; mis : pijatan, kompres
Rasional ; Meminimalkan kebutuhan atau meningkatkan efek obat.
6.Berikan obat sesuai indikasi



BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan

Talasemia Adalah penyakit keturunan (genetik) dimana terjadi kelainan darah (gangguan pembentukan sel darah merah). Sel darah merah sangat diperlukan untuk mengangkut oksigen yang diperlukan oleh tubuh kita.

Pada penderita talasemia karena sel darah merahnya ada kerusakan (bentuknya tidak normal, cepat rusak, kemampuan membawa oksigennya menurun) maka tubuh penderita talasemia akan kekurangan oksigen, menjadi pucat, lemah, letih, sesak dan sangat membutuhkan pertolongan yaitu pemberian transfusi darah. Bila tidak segera ditransfusi bisa berakibat fatal, bisa meninggal.

Leukemia adalah suatu jenis kanker yang dimulai dari sel darah putih. Dalam keadaan normal, sel darah putih, berfungsi sebagai pertahanan tubuh, akan terus membelah dalam suatu kontrol yang teratur.
Pada pasien leukemia, terjadi pembentukkan sel darah putih abnormal (sel leukemia) yang berbeda dan tidak berfungsi seperti sel darah putih normal. Pada pasien leukemia, sumsum tulang memproduksi sel darah putih yang tidak normal yang disebut sel leukemia. Sel leukemia yang terdapat dalam sumsum tulang akan terus membelah dan semakin mendesak sel normal, sehingga produksi sel darah normal akan mengalami penurunan.

DAFTAR PUSTAKA



Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.





1 komentar:

  1. penulis mohon maaf atas ktidak singkronan antara bab 1 dengan bab yang lainnya.. penulis berharap pembaca lebih teliti dalam membaca blog saya.. sekali saya minta maaf
    dan semoga bermanfaat.

    BalasHapus